PERTANIAN - Bayangkan ini, sebuah ladang hijau yang luas, petani-petani yang setia mencangkul tanah dengan penuh harapan. Mereka menanam bibit, merawatnya dengan keringat, menunggu dengan sabar hingga tiba masa panen. Tapi apa yang mereka dapat? Harga yang jauh dari impian. Alih-alih meraup untung, petani kita justru tersungkur, tergilas oleh harga murah produk impor yang membanjiri pasar.
Kenapa ini bisa terjadi? Sebenarnya, kita semua tahu jawabannya: karena kurangnya informasi yang menyeluruh tentang hasil produksi petani dari seluruh pelosok negeri. Bayangkan jika setiap kilogram hasil tani, mulai dari padi hingga sayur-sayuran, tercatat rapi dalam sistem informasi yang terpadu. Pemerintah pun bisa tahu persis berapa stok yang tersedia, berapa yang kita butuhkan, dan kapan kita harus, atau bahkan tidak perlu, mengimpor.
Nah, kenyataannya saat ini tidak seperti itu. Di lapangan, keputusan impor lebih sering terdengar seperti “tiba-tiba saja, ” tanpa pertimbangan mendalam akan berapa banyak stok dari hasil tani lokal yang masih ada. Alhasil, produk impor menyerbu pasar, menekan harga hingga petani lokal pun sulit bernapas. Mereka sudah berkeringat banting tulang, tetapi begitu panen tiba, harga jual justru lebih rendah daripada biaya produksi. Sungguh ironi bukan?
Jika kita memiliki sistem informasi yang terintegrasi, pemerintah tak perlu bingung menebak-nebak kapan harus impor. Data produksi dari Sabang sampai Merauke bisa terkumpul dalam satu platform, sehingga pemerintah tahu kapan dan seberapa banyak kebutuhan yang belum bisa dipenuhi oleh petani lokal. Impor pun hanya menjadi opsi terakhir, bukan andalan.
Dengan sistem seperti ini, pemerintah juga bisa mengambil langkah untuk melindungi petani. Bayangkan, petani dapat menjual hasil panen mereka dengan harga yang layak, tanpa harus bersaing dengan produk luar negeri yang entah kenapa bisa lebih murah. Lebih dari itu, sistem ini bahkan bisa memberikan informasi real-time kepada petani tentang harga pasar, sehingga mereka tahu kapan saat terbaik untuk menjual hasil panennya.
Lalu apa lagi manfaatnya? Sistem informasi ini bukan hanya soal data semata; ini soal memberi ruang bagi petani untuk hidup sejahtera. Pemerintah bisa menggunakan data ini untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan. Misalnya, kalau data menunjukkan harga produksi padi di suatu wilayah sangat tinggi, pemerintah bisa memberikan subsidi pupuk atau bibit. Dengan begitu, petani bisa mengurangi biaya produksi dan tetap menghasilkan pangan berkualitas tanpa harus keluar modal besar.
Pada akhirnya, sistem informasi pertanian bukan sekadar gagasan, tetapi harapan bagi petani-petani kita. Mereka yang terus menebar asa di ladang, mengais rezeki dari bumi nusantara. Jika saja informasi itu ada, mereka tak perlu takut akan bayang-bayang produk impor yang menyesakkan. Indonesia bisa berdiri mandiri dalam soal pangan, tanpa terus-menerus tergantung pada produk luar. Bukankah sudah saatnya negeri ini benar-benar berpihak pada petani dan memberdayakan mereka dengan teknologi yang mencerahkan?
Jakarta, 15 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi